Oleh :
Menteri Komunikasi dan Informasi
Menteri Komunikasi dan Informasi
Mohammad NUH
Jika menggunakan pendekatan antropologis, perjalanan umat manusia terdiri atas beberapa era. Setiap era memiliki ikon teknologi, yaitu suatu teknologi yang bersifat generik yang dibutuhkan oleh setiap sektor kehidupan dan mampu menjadi penggerak dari sektor kehidupan itu.
Masyarakatnya pun memiliki sebutan tersendiri, mulai dari masyarakat nomadik, pertanian, perdagangan, industri, dan masyarakat berpengetahuan, yang dimulai akhir abad 20 awal abad 21. Dalam perjalanannya telah dibuktikan, bangsa yang maju ditandai dengan penguasaan terhadap ikon teknologi pada zaman itu.
Pada masyarakat berpengetahuan, masa sekarang ini kita hidup, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi ikon teknologinya. Kalau sebelumnya, kita belum mampu memanfaatkan secara optimal, maka kini jangan sampai kesempatan ini berlalu. Apa yang dilakukan oleh The Habibie Center membuktikan bahwa kita punya semangat, keyakinan, dan optimisme, membangun negeri ini melalui penguasaan dan pemanfaatan ICT.
Memang, sesuatu yang besar adakalanya bermakna kecil, itulah kedunguan dalam kemubadziran. Kecil bermakna kecil itu adalah kewajaran dalam kelaziman. Kecil bermakna besar itu pertanda kecerdasan dalam kemuliaan. Dan, besar bermakna luar biasa besarnya, itu pertanda kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan dalam kemuliaan. Tidakkah, adakalanya yang qalil (kecil) bisa mengalahkan yang katsir (besar) [kam min fiatin qolilatin gholabat miatan katsirotan biidznillah]. Kita tentu ingin, Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu memberikan makna yang luar biasa besarnya.
Kalau pada era industri pada abad 18-an, hukum kekekalan energi, Newton, dan Einstein dan lain sebagainya sebagai salah seorang yang memberikan inspirasi dan teknologi permesinan sebagai generic technology-nya, maka pada abad 21 ini, yang memberikan inspirasi adalah Hukum Moore, Hukum Metcalfe, dan Hukum Coase.
Gordon Moore, seorang insinyur elektrik dan pendiri Intel Company, perusahaan chip komputer terbesar, pada 1960-an menyampaikan: 'Setiap 18 bulan, kekuatan prosesor akan bertambah dua kali lipat, dengan biaya yang konstan' (Hukum Moore). Hal ini memberikan implikasi luar biasa dalam kecepatan dan kemanfaatan komputer. Kalau pada tahun 1965 sebagai awalnya, maka pada tahun 2005 processing power-nya akan menjadi: 1x2x2x2...x2 (27 kali) atau 2 pangkat 27 (=134,217,728). Chip 4004 pada 1970 terdiri dari ribuan transistor, lalu pada 2000-an ditemukan Prosesor Pentium 4, isinya sudah ratusan juta transistor.
Implikasi dari hukum Moore ini antara lain usia produk elektronik semakin pendek, produk canggih semakin banyak dan ragam, keahlian intelektual dapat ditiru, sehingga menurunkan biaya secara progresif. Hukum kedua, Hukum Metcalfe (Ubiquitous Global Network) terkait pengguna komputer. Robert Metcalfe adalah pencipta Ethernet Protocol yang membantu komputer agar bisa berkomunikasi antarkomputer dalam suatu jaringan.
Metcalfe memformulasikan jumlah komunikasi yang mungkin dalam suatu jaringan: 'Kegunaan sebuah jaringan sama besar dengan jumlah penggunanya. Secara matematis, n**2 (di mana n:1,2,3,........n). Rumus aslinya: Y = 0.5 (n**2 - n). 'Jadi sebuah jaringan kecil dengan sedikit pengguna, kegunaan (jaringan) juga relatif kecil.
Hukum itulah yang mengilhami pentingnya mereduksi digital divide. Implikasinya antara lain; akses informasi semakin mudah, cepat, dan murah, jarak tidak memiliki pengaruh ekonomi, informasi yang dihasilkan dan ditransmisikan meningkat secara eksponensial.
Sedangkan Hukum Coase, dimunculkan Ronald Coase, pemenang Nobel di bidang Ekonomi, dengan teorinya: 'Bersamaan dengan biaya transaksi yang menurun, sebuah organisasi kecil pun berkembang'. Dengan kata lain; struktur organisasi berkembang seiring semakin efisiennya biaya transaksi. Setiap teknologi memiliki landasan falsafahnya masing-masing.
Pemanfaatan teknologi itu akan optimal, jika kultur dari pemakai itu sesuai dengan falsafahnya. TIK sebagai satu kesatuan sistem teknologi memiliki landasan filosofis; sofistikasi komputer yang semakin tinggi, yang diilhami Hukum Moore; pentingnya jaringan untuk meningkatkan kegunaannya; membangun organisasi yang efisien dan efektif sebagai terjemahan dari rendahnya biaya transaksi. Karena itu, pengembangan dan pemanfaatan TIK, agar memberikan makna yang optimal, harus dipahami komprehensif.
Persoalannya, bagaimana kita membangun TIK yang berbasis fakta, apa adanya. Bangsa ini bangsa besar, dengan disparitas kultur beragam. Mulai kultur zaman batu sampai masyarakat berpengetahuan, berada dalam satu kapsul, yaitu Indonesia. Mulai yang masih buta huruf sampai lulusan perguruan tinggi. Dalam konteks kultur digital, Indonesia memiliki digital divide yang sangat lebar. Dan, ini menjadi 'laboratorium' menarik dan menantang bagi kita yang memiliki kepedulian.
Secara umum, masyarakat bisa dikelompokkan ke dalam 4 kuadran, yaitu ignorance society (fase satu, tak tahu apa yang mereka tidak tahu); Awareness society (fase dua, tahu yang mereka tidak tahu); Proficiency society (fase tiga, tahu apa yang mereka tahu); Mastery (fase empat, forgotten more than others know).
Perpindahan dari satu fase ke fase yang lain memerlukan transformasi. Dan yang paling rumit, dari fase satu ke fase dua. Pasalnya, kompleksitas dari karakter manusia. Fase dua ke fase tiga yaitu dari masyarakat 'sadar', ke masyarakat cerdas (terdidik), dapat dilakukan melalui proses edukasi. Sedangkan dari fase tiga ke fase empat yaitu dari masyarakat terdidik ke masyarakat bijak memerlukan fungsi pencerahan lebih dominan.
Dalam membangun bangsa, kita tidak hanya butuh cerdik pandai, tapi juga wisdom. Orang pandai bisa menjawab 'bagaimana menyelesaikan masalah', tetapi orang yang memiliki wisdom, selain menyelesaikan masalah, dia bisa menjawab bagaimana sebaiknya masalah diselesaikan.
Berdasar fakta yang ada, maka beberapa hal harus kita lakukan. Pertama, membangun kesadaran kolektif pentingnya ICT. Membangun kesadaran diperlukan guru yang sejati, yaitu guru yang mampu mengajarkan ilmu (dan dia punya ilmu); guru yang mampu membangun karakter (dia memang punya kepribadian yang mulia, dipenuhi sifat mahmudah vs sifat madzmumah); guru yang mampu memberikan pandangan jauh ke depan sebagai cita-citanya dan idealisme.
Membangun kesadaran masyarakat, ilmu saja tidaklah cukup, tetapi juga memerlukan keteladanan yang dicontohkan dengan kemuliaan kepribadian dan idealisme. Kedua, melakukan desakralisasi TIK. Dengan keragaman kultur yang kita miliki, kita harus menghindari kesan TIK hanya untuk orang terdidik. Kita harus mengembangkan 'TIK untuk semua'. Ketiga, membangun akses informasi. Keempat membangun kultur inovatif. Selanjutnya, dengan TIK kita bisa berhaap mampu membangun kultur produktif dan efisien yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan.
(Sumber : Republika On Line : Senin, 10 Desember 2007)
No comments:
Post a Comment